Archive

Archive for the ‘Uncategorized’ Category

[memulai] hari merdeka, #indonesiaunite dan bangunnya pemuda pemudi Indonesia

Bangun Pemuda Pemudi

Karangan / Ciptaan : A. Simanjuntak

Bangun pemudi pemuda Indonesia
Tangan bajumu singsingkan untuk negara
Masa yang akan datang kewajibanmu lah
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa

Sudi tetap berusaha jujur dan ikhlas
Tak usah banyak bicara trus kerja keras
Hati teguh dan lurus pikir tetap jernih
Bertingkah laku halus hai putra negri
Bertingkah laku halus hai putra negri

Itulah mungkin yang ada di pikiran dan perasaan teman-teman kojaker, keinginan untuk memberi sesuatu untuk bangsa, perkara itu besar ataupun kecil, hendaklah dimaknai sebagai kerelaan untuk memberikan sesuatu untuk bangsa.

Keragaman dan perbedaan, bukan menjadi penghalang, rasa untuk berbagi kesadaran terhadap bangsa yang besar begitu mengemuka.

Jika dahulu pemuda Indonesia terkenal dengan sumpah pemudanya, sekarang mereka menggelorakan semangat #Indonesiaunite, semangat kebanggaan atas bangsa, semangat kebersamaan dan semangat untuk berdiri tegak dengan bangsa lainnya.

Esok hari, kita kembali merayakan hari kemerdekaan. Menghormati jasa pahlawan yang telah mendahului kita, berbuat sesuatu untuk mengisi kemerdekaan ini, kobarkan semangat pantang menyerah, semangat untuk membangun bangsa.

Kekecawaan saya yang pada akhirnya tidak bisa menyempatkan untuk bergabung dengan mereka, sekaligus kebanggaan saya mempunyai teman-teman yang peduli dan ingin berbuat sesuatu untuk bangsa.

Dirgahayu Indonesiaku!

Bangunlah pemuda pemudi bangsa

Sudah saatnya kita

Mengambil peran dan Berbuat sesuatu

Selamat untuk teman-teman kojaker, iri dengan yang sudah dan mampu kalian lakukan. Inilah video persembahan hari kemerdekaan dan #indonesiaunite dari kojaker, semoga menginspirasi dan membangunkan kita untuk jayanya INDONESIA.

[memulai] liburan di Batu Karas

Setelah gonjang ganjing berita dunia perblogan tentang ibu Prita, saatnya saya kembali untuk mencoba membagi cerita perjalanan saya minggu kemarin yang sempat tertunda untuk di posting.

Perjalanan yang menyenangkan, suasana yang baru, membantu saya untuk sekedar melupakan kepenatan pekerjaan dan masalah hidup (gayamu !).

Weekend minggu kemarin saya bersama keluarga menghabiskan liburan di Batu Karas, sebuah pantai yang indah terletak sekitar 30 km dari Pangandaran. Apa sih yang membedakan pantai ini dengan Pangandaran ?

Jelas Pangandaran lebih terkenal, tetapi tidak memberikan jaminan lebih bagus dan indah. Batu Karas menawarkan sesuatu yang berbeda, dimulai dari pemandangan pantainya, ombaknya dan juga peruntukan pantai ini yang digunakan sebagian orang untuk berselancar.

0106091

Saya juga cukup kaget dengan tipe pengunjung pantai ini, Pangandaran yang sebagian didominasi oleh keluarga, tetapi Batu Karas lebih didominasi pengunjung usia muda dan juga turis-turis asing yang sebenarnya cukup jarang kita temui di Pangandaran.

Selama 1 malam saya menginap di JavaCove, dengan biaya yang tidak terlalu mahal, kalau gak salah saya membayar Rp. 453,000,- selama satu malam termasuk makan pagi. Desain interior yang cukup keren sesuai dengan konsep Beach House yang ditawarkan hotel ini menambah rasa nyaman untuk saya, belum lagi letak dari hotel yang langsung berada di pinggir pantai. Hanya saja satu kekurangannya, entah memang menyesuaikan dengan konsep liburan atau apa lah alasannya, hotel ini ternyata tidak menyediakan TV di dalam kamar … hehehe.

Tapi bagaimanapun saya cukup puas dengan pelayanan dan kenyamanan yang ditawarkan hotel ini. Hanya saja dengan ketersediaan kamar yang tidak cukup banyak dan banyaknya peselancar yang menginap di sini lebih dari satu malam membuat kita akan menemui kesulitan untuk menginap jika tidak melakukan booking dan sedikit keberuntungan.

Sayang sekali kemarin saya tidak sempat mengunjungi Green Canyon, dikarenakan air sungai tersebut coklat dan pasang, yang di sebabkan hujan yang mengguyur di hulu sungai :(, selain itu saya juga tidak cukup beruntung untuk mendapatkan Sunrise di Batu Karas ataupun Sunset di Pangandaran.

Tapi ini lah liburan yang cukup menyenangkan terlepas dari ketidak beruntungan saya, rasanya sudah cukup puas dengan keindahan dan kenyamana yang ditawarkan Batu Karas dan JavaCove.

Oh ya hampir lupa, untuk makanan di daerah Batu Karas, harganya  sangatlah terjangkau bahkan bisa dikatakan murah apabila kita bandingkan dengan Pangandaran ataupun daerah wisata lainnya. Soal rasa? Lumayanlah saya sarankan mencoba cumi goreng tepung dan nasi gorengnya … maknyus !!!

Jadi berminat ke Batu Karas ???

[memulai] mitos, khayalan dan kenyataan tentang Kartini ?

raden_adjeng_kartiniMasih nyambung dengan postingan saya sebelumnya, juga komen saya di sini dan di sana. Akhirnya saya tergerak untuk mencoba mencari tahu, pandangan lain tentang Raden Ajeng Kartini, sebagai seorang pahlawan, dan juga tentang penetapan hari Kartini.

Tulisan ini saya sadur langsung dari salah satu thread di forum blog detik, hanya saja ada beberapa tulisan yang sengaja saya tidak tampilkan, karena saya ingin kita fokus kepada hal kenapa dan bagaimana bisa seorang Kartini dijadikan simbol emansipasi wanita. Permasalahan adanya motif penjajahan dengan menggunakan kelemahan Islam dan pembahasan berbau agama mungkin akan lebih baik jika kita sampingkan dahulu, agar kita lebih fokus terhadap pertanyaan “Mengapa Harus Kartini ?”

————

Mengapa setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan?

Oleh: Adian Husaini


Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu.
Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:

“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:

“Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: “Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ‘menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ‘penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ‘ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya “Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: “Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya.

————————————

Pfuih … ternyata panjang yah (padahal ada beberapa terutama bagian akhir sudah saya delete). Semoga ini bias menambah wawasan kita, semoga nantinya kita juga bisa lebih baik memaknai emansipasi, persamaan gender, penghargaan terhadap pahlawan kita dan siapa itu Kartini.

Saya coba quote yang ini yah, sangat menarik buat saya

“Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

memulai bertahan …. berjuang

emptypockets

Hakikatnya kita manusia memang akan selalu dituntut untuk bertahan, diharapkan bisa berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Hukum alam yang sudah bukan rahasia lagi, pada akhirnya yang kuat lah yang menang. Dan si pecundang harus bersiap untuk tersisih untuk kemudian mati.

Average is not acceptable … standar yang begitu tinggi bukan ? Di saat dahulu kita bahkan sudah terbilang baik dengan standar sedang-sedang saja, di saat dahulu bahkan si “Average” masih bisa berkelompot dengan para pemenang. Dan sekarang, dunia terlihat begitu kejam, hanya minoritas dengan kategori Excellent ataupun Above Expectation yang bisa tersenyum pada akhirnya dan menjadi pemenang untuk selanjutnya bertahan hidup.

Tahun ini adalah tahun yang begitu berat buat saya, diawali dengan semangat menggebu untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya yang belum sempat tercapai. Dilanjutkan dengan tantangan baru saya untuk hidup di kota baru dengan karir yang baru bersama perusahaan dan bidang usaha yang juga baru untuk saya.

2 bulan sudah saya lewati, masa bulan madu yang tidak pernah saya alami dengan karir saya yang baru benar-benar menyita semua energi dan kekuatan yang saya miliki. Proses adaptasi yang dibarengin dengan lansung melakukan pekerjaan, melakukan perabaan untuk seluruh pabrik di Indonesia, benar-benar menantang adrenalin saya untuk bisa membuktikan, setidaknya pilihan mereka untuk saya adalah sama sekali tidak salah. Read more…

memulai kedatangan Tahun Kerbau Tanah !

Selamat Tahun Baru Imlek 2560.

Selamat datang Tahun Kerbau Tanah.

Xin Nien Kuai Le (selamat tahun baru dan bahagia)!

imlek1Beduk sudah dipukul bertalu-talu, simbal pun terpecah mengiringi alunan melodi penghantar Barongsai.  Selamat tahun baru untuk saudara-saudaraku :).

Dan sayapun kembali terusik dengan fenomena yang sama setiap ada festival besar keagamaan ataupun kebudayaan di negara ini. Fenomena yang selalu sama. Yang selalu mengganggu saya, entah fenomena ini seharusnya menjadikan festival itu lebih khidmat dan terasa keagunggannya atau malahan membuat festival itu terganggu dan berkurang ke-khidmatannya. Read more…

memulai mengakhiri

Akhirnya ….

All my bags are packed
Im ready to go

…..

The last day I am here, officially as one of Indorama employee. Waktu saya sudah selesai, sudah menggenapkan semuanya. Masih ada tersisa kenangan, teman-teman dan hasil pekerjaan selama 7 tahun ke belakang. Read more…

Hello world!

Welcome to WordPress. This is your first post. Edit or delete it, then start blogging!

Categories: Uncategorized Tags:

COMPLETE PACKAGE OF DONY ! is using WP-Gravatar