Door Duisternis tot Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang dikirimkan kepada sahabatnyadi negeri Belanda yang kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya, dan selanjutnya di jadikan suatu acuan, titik awal pengakuan sejarah terhadap perjuangan persamaan antara hak wanita dan pria.

kartini

Apakah hanya buku itu saja ? Kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini, dan kemudian itu sudah membuktikan semua perlawanan yang dilakukan wanita pada zamannya. Tidak sampai di situ, perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang.

Pada zaman Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya. Bahka wanita pada saat itu bukan saja tidak bisa melakukan pilihan, bahkan terkadang memang tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kemauan dari pria.

Sudahlah rasanya sejarah akan menuliskan yang sama, dimanapun akan kita jumpai tulisan yang sama tentang siapakah Raden Ajeng Kartini dan apa yang telah dilakukannya buat bangsa ini.

Yang menjadi menarik buat saya adalah, apa alasan dibalik Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Kenapa Raden Ajeng Kartini yang diambil sebagai role model ? Kenapa kita tidak mengambil itu dari pahlawan-pahlawan wanita lainnya ?

Bisa dikatakan sebenernya perjuangan yang dilakukan oleh Kartini, hanya sebatas perjuangan dalam bentuk pikiran dan tulisan, bahkan boleh dikata beliau tidak pernah berhadapan langsung dengan yang dinamai penjajah, bahkan beliau berkawan dan bersahabat dengan orang-orang Belanda yang tercatat pada saat itu sudah menjadi penjajah di Indonesia.

Tidak ada yang dramatis dilakukan oleh Kartini, bahkan untuk melakukan perlawanan secara fisik terhadap kaum pria yang dikatakan menjadi lawannya saja, hampir tidak pernah, selain mungkin curhatannya ketika tertindas dan kemudian mengirimkan surat curhatnya tersebut ke sahabatnya di Belanda. Ketika memang Kartini mempunyai cita-cita yang sungguh mulia, untuk memajukan wanita Indonesia, di saat yang sama Kartini menjadi tidak berdaya untuk mengikuti kemauan orang tuanya untuk menikah sebagai salah satu alasan yang dibuat untuk merintangi kepergian Kartini sekolah di Belanda.

Memang, setelah Kartini menikah, semangatnya masih tetap ada untuk memajukan wanita Indonesia, beliau kemudian mendirikan sekolah gratis di Rembang. Apa yang dilakukannya kemudian menyebar ke daerah tetangganya seperti Semarang dan Magelang.

Belakangan memang menjadi perdebatan, dengan sejumlah fakta sejarah yang memperlihatkan bahwa perjuangan Kartini yang lingkupnya lebih kecil, hanya sekitar daerah Jawa Tengah saja, dan tipe perjuangan yang dilakukan oleh Kartini. Beliau sendiri meninggal pada saat berusia 25 tahun, pada saat melahirkan putra pertamanya.

Semua menjadi menarik setelah sepeninggal Kartini, surat-surat yang dikirimkan oleh Kartini kemudian dikumpulkan dan dijadikan buku oleh sahabatnya, dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu katanya dikemudian hari sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.

Umur Kartini sendiri yang tidak lebih dari 25 tahun, membuat masyarakat menebak-nebak bahwa akan lebih banyak lagi yang akan dilakukan Kartini, jika memang Tuhan berkehendak lain dengan memberikan umur panjang. 25 tahun dari Kartini membungkus paket menarik untuk mengedepankan beliau menjadi satu sosok pahlawan yang lebih menjual dibandingkan pahlawan-pahlawan wanita lainnya.

Selain memang kedekatan Kartini dengan sahabat Belandanya, menjadi satu keuntungan tersendiri yang mungkin tidak dipunyai oleh pahlawan wanita lainnya. Pemikiran Kartini tentang wanita Indonesia secara tidak langsung memberikan keuntungan bagi kaum penjajah, bahkan mungkin ide peluncuran buku dengan kumpulan surat-surat Kartini sendiri, merupakan salah satu strategi yang dilakukan penjajah untuk menarik keuntungan dari negara jajahannya. Yang memang sudah pasti di sini adalah, penjajah sendiri tidak merasa dirugikan dengan pemikiran seorang Kartini, sehingga mungkin yang terjadi adalah ide dan pemikiran Kartini sendiri menjadi lebih besar dibandingkan kenyataan yang terjadi.

Saya menjadi berkeberatan, ketika saat ini kita mulai melihat Kartini dengan tidak berimbang, dan hampir lupa kalau kita juga mempunyai wanita-wanita hebat lainnya, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya.

Menjadi sangat aneh buat saya, setelah Kartini meninggal, mewariskan surat-surat dan kemudian kita memberikan sesuatu yang berlebihan terhadap Ide-ide besarnya yang katanya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, katanya dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi. Padahal di saat yang sama, Kartini tidak memberikan contoh hidup dengan apa yang dilakukannya, ketika beliau hanya bersekolah sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah. Dan akhirnya juga menikah, dengan pria pilihan orang-tuanya. Tidak banyak dilakukan oleh Kartini selain menulis, dan keberuntungan beliau mengirimkan hasil tulisannya tersebut ke orang yang tepat.

Ah sudahlah, menurut saya bukan Kartini esensinya, tapi semangat persamaan wanita dalam kehidupan lebih penting. Soal gelar pahlawan, apa yang dilakukan Kartini dan penetapan hari besar tanggal 21 April, mungkin lebih erat kaitannya ke simbol. Siapapun yang menjadi acuannya, Kartini, Dewi Sartika, Cut Nya Dien ataupun lainnya, sudah saatnya memang wanita Indonesia untuk bisa maju dan setara.

Ketika wanita memang seharusnya menjadi partner dalam kehidupan pria. Tidak harus ada yang dikalahkan ataupun di menangkan. Ketika memang wanita menjadi pantas untuk melakukan sesuatu, bukan karena suatu keterpaksaan dari pria untuk sedikit membagi areanya dengan alasan emansipasi atau apapun.

Ketika 21 April hanya dirayakan dengan memakai pakaian kebaya saja, dan kita lupa sebenarnya tentang apa yang sudah diperjuangkan oleh wanita-wanita hebat sebelumnya. Ketika kita sudah cukup puas, pada saat wanita-wanita kita ikut berkeringat mencari segenggam berlian, dan melupakan anak dan suaminya di rumah. Emansipasi, 21 April dan Kartini, masih menjadi tanya besar buat saya.

Buat saya sama … kalian wanita begitu hebat, terlepas dari apapun yang kamu lakukan untuk emansipasi ini.

Selamat hari Kartini … Selamat hari Wanita … Selamat menjadi Partner !

Sekedar tanya … sudahkah kalian para wanita membaca buku Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) ? Kalau sudah kasih pendapatnya dong