Home > belajar nulis, blog, kehidupan > Belajar Bersepeda … Belajar Kehidupan

Belajar Bersepeda … Belajar Kehidupan


This is some text prior to the author information. You can change this text from the admin section of WP-Gravatar  a complete package of dony. lelaki yang mencari dunia! Read more from this author


Kemarin adalah hari pertama Farrell mencoba untuk mengendarai sepeda roda duanya, hari yang sangat spesial buat saya. Diberikan kesempatan untuk mendampingi anak saya, belajar untuk mengendarai sepeda roda duanya.

Sungguh tak pernah saya sangka, awalnya saya berfikir, anak saya yang akan belajar banyak dari saya, setelah di akhir dan mencoba menuliskan ini, saya baru menyadari, sesungguhnya saya yang banyak belajar dari proses itu.

Apa sih yang saya pelajari? Coba akan saya runut satu persatu adegan dan sekilas dialog kami, saya coba juga sarikan sedikit pemahaman saya tentang apa yang saya pelajari. Pelajaran sederhana sebenarnya tetapi kadang kita sudah melupakannya.

- - -

Sudah hampir 4 hari ini sepeda roda empat Farrell sekarang sudah kehilangan dua roda penyangganya. Kehilangan yang dia buat, keputusan yang dia inginkan.

“Aku pengen bisa naik sepeda roda dua, Pah” begitu ujarnya, dia beberapa minggu yang lalu.

Keinginan yang sempat saya tunda beberapa kali, dengan pemikiran dan penilaian saya, kalau anak saya sebenarnya belum cukup mampu dan siap untuk mengendarai sepeda roda dua.

Hampir dua minggu keinginannya tidak saya kabulkan, hingga satu hari, ada kejadian ban belakang sepeda itu meletus, bukan hanya ban dalam, tetapi ban luarnya juga. 3 hari lebih sepeda parkir di tempat mainannya, tanpa ada tindakan apapun untuk membetulkan. Saya sendiri baru sempat untuk membetulkan sepeda itu nanti di hari Sabtu atau Minggu, ketika kembali ke Bandung.

Singkat cerita sepeda itupun, kami bawa ke bengkel sepeda dekat rumah, ban yang meletus sekarang sudah diganti dengan ban yang lebih bagus ditambah satu kejutan kecil. Entah bagaimana, tanpa pemikiran seperti kemarin, tiba-tiba saya menyetujui permintaan anak saya untuk melepas dua roda penyangganya. Dan akhirnya sepeda bercat kuning biru itu pun sekarang hanya mempunyai dua roda.

Jangan tanya bagaimana raut muka anak saya pada saat itu, aroma kesenangan terbersit dari sinar matanya, singgungan senyumnya menggambarkan kepuasaan karena akhirnya dia mempunyai sepeda roda dua. Lalu saya? Saya masih terdiam dengan banyak tanya. Tanya tentang kemampuan anak saya, tanya tentang kesiapan dia dan tanya akan ketakutan diri saya sendiri untuk bisa memberikan kepercayaan lebih

Dan hari itu pun akhirnya tiba, Saya, Farrell dan sepeda roda duanya sekarang sudah berada di lapangan depan rumah. Hari ini adalah hari pertama Farrell belajar mengendarai kendaraan roda duanya.

Kalimat pertama yang meluncur dari mulut saya. “Yakin Farrell mau coba sekarang?“, bodohnya saya, kenapa pula sudah sampai pada titik ini malahan saya yang meragukan kemampuan anak saya, setelah sampai pada tahap ini malah saya yang meragukan diri saya untuk mampu sekedar memberikan dukungan, agar anak saya bisa mengendarai sepeda roda duanya.

Ini baru masalah kecil, belum menjadi hidup matinya anak saya, belum suatu keputusan besar dalam hidupnya, dan saya malahan menjadi begitu kecil, seketika ingatan saya menerawang ke kemampuan ibu bapak saya, yang sudah begitu telaten dan sabar membimbing saya, mendukung keputusan saya dan memberikan apa yang saya butuhkan. Dan saya sekarang di sini. Bukan masalah besar, ini hanya masalah bersepeda, dan sudah membuat saya ciut.

Tangan saya masih memegang jok belakang sepeda kuning biru itu, sementara Farrell sudah duduk di atas sepeda itu, dengan kaki yang keduanya menempel di pedal, tentu membuat dia akan kesusahan untuk membuat awalan keseimbangan yang baik. “Turunkan kakimu satu nak, pilih kaki yang paling kamu rasa nyaman, kanan atau kiri sama saja, pastikan itu bisa kamu jadikan untuk kekuatan kamu“. Farrell pun mengikuti arahan saya, kaki kirinya diturunkan. Sebelumnya pun saya sudah tahu, kalau dia akan menurukan kaki kirinya. Kaki kiri yang begitu kuat, tangan saya sudah merasakan kekuatan ini, baik dari tendangan langsung ataupun sekadar tangkapan bola yang ditendang oleh kaki kiri itu.

Percobaan pertama, sepeda oleng, kayuhan pertama tidaklah begitu meyakinkan, stang tidak terkendali, sementara tangan saya masih memegang jok belakang untuk membantu keseimbangan sepeda sambil berharap sepeda tidak jatuh. Kami berhenti, dan saya kembali memberikan beberapa arahan. “Berani yah lel, mata ke depan, lihat jalan, bayangkan sepeda kamu masih ada roda penyangganya, oh ya, kasih kekuatan di tangan, dan kayuhlah dengan mantap“.

Tanpa banyak bicara, Farrell pun mengiyakan, entahlah apa dia memaknai dan mengerti tentang arahan saya, tidak banyak yang terucap. Ada yang berbeda kali ini, saya lihat optimisme mulai terpancar dari mukanya, dan satu, dua, tiga, tangan saya terlepas dari jok itu, sepeda mulai maju, tujuh, delapan kayuhan, hampir 7 meter ke depan, momen kebanggaan saya sebagai seorang ayah, anak saya mengendarai sepedanya. Dan brak … akhirnya terjatuh, sedikit ringisan, dan kesakitan di kakinya.

Ada khawatir sedikit terlintas, tapi langsung sirna begitu saya mendengar “Gak terlalu sakit kok Pa!“ ah … saya jadi malu sendiri.

Rangkaian pelajaran pertama yang saya peroleh, jangan pernah menghalangi keinginan kuat, jangan pernah meragukan kemampuan seseorang. Rasa ragu itulah sebenarnya awal dari kesalahan kita, khawatir yang berlebihan kadang malah membuat orang tidak mampu atau cepat berkembang.

Sama dengan proses belajar pertama Farrell ketika akan mengayuh sepedanya, seperti itu jugalah seharusnya kita menjalani hidup. Pijakan kaki kiri sebelum bergerak, bisa kita artikan membuat awalan yang baik. Kehidupan mengharuskan kita bersiap, kehidupan memerlukan pondasi dan pijakan.

Keberanian membuat perbedaan. Awalan yang baik tanpa adanya suatu pelaksanaan atau perwujudan yang dilandasi karena keberanian untuk bergerak, akan menjadi ketersiaan. Apa jadinya ketika Farrell terus saja membuat awalan dengan menopang pada kaki kirinya tanpa ada kayuhan atau keberanian mengayuh sepeda itu?.

Fokuslah! Sama dengan mengendarai sepeda, begitu pula dengan kehidupan. Fokus terhadap apa yang kita inginkan, fokus dengan kekuatan dan kelemahan kita, fokus dengan permasalahan, fokus dengan apapun yang kita lakukan.

Kebanggaan saya sebagai manusia, kebanggaan saya sebagai orang tua, melihat Farrell yang bahkan hanya melaju 7 meter ke depan, adalah kebanggaan yang akan sangat sulit tergantikan. Seorang anak, akan sangat membutuhkan dukungan dari orang tuanya, seorang anak akan selalu berharap mendapat perlindungan dari orang tuanya, tindakan awal saya memegang jok belakan sepedanya untuk membantu keseimbangan sampai saya akhirnya hanya sekedar berlari mengikuti sepeda itu, adalah bentuk dukungan yang saya berikan untuk dia.

Kehidupan membuat manusia akan merasakan yang namanya jatuh, tidak hanya ketika belajar mengendarai sepeda, dalam kenyataanya kita akan sering jatuh. Yang membedakan tinggal seberapa sering kita jatuh, seberapa sakit ketika jatuh. Respon menghadapai kejatuhan itu yang paling penting. Apakah jatuh yang pada akhirnya membuat kita beringsut mundur untuk berhenti mencoba? Apakah jatuh yang nantinya seakan memberi hak untuk kita berteriak kalau kita tidak beruntung? Kalau saja pada percobaan pertamanya Farrell sudah jatuh, dan kemudian dia berhenti untuk belajar mengendarai sepeda, kapan dia akan bisa? Begitupun dengan kehidupan, jatuh mengajarkan kita rasa sakit, jatuh mengajarkan kita esensi dari usaha dan mencoba.

Beberapa putaran diselingi dengan 3 kali jatuh, menjadi warna dari proses belajar sore itu. 2 dari kejatuhan itu lebih banyak disebabkan karena ada permukaan lapangan yang ditumbuhi ilalang dan rumput yang cukup tinggi untuk mengganggu laju sepeda. Kadang untuk menghindari itu Farrell harus berputar untuk mencari jalan, berbelok-belok sudah pasti. Selain faktor jalan yang tidak mudah, keseimbangan yang belum mantap memberikan kontribusi dengan cara mengendarai seperti ikut slalom.

Tak lama sang Ibu pun ikut melihat anaknya belajar bersepeda, teriakan penyemangat layaknya cheerleader menyoraki sang jagoan basket ketika bertanding. Farrell tersenyum, sedikit sombong mempraktekan betapa dia sekarang sudah lebih mahir mengendarai sepedanya.

Farrell

Sampai pada satu kesempatan. “Pa, aku ngebut yah?“, sedikit saja aku mengangguk, biarlah, dia kembali akan belajar kali ini. Persiapan kembali dimulai, awalan kaki kiri, kaki kanan di atas pedal, mata lurus ke depan, dan tangan di atas stang, begitu kokoh. Sekilas sudah seperti awalan start yang akan di lakukan oleh Lance Amstrong sebelum lomba Tour De France dimulai.

Farrell melaju, lebih cepat dari tadi, jalur tengah sengaja yang dipilih, tidak ada rumput-rumputan, tentunya akan lebih gampang untuk dia. 20 meter, sembari saya tetap mengikuti dari belakang, sambil terengah-engah, mengingat nikotin yang sudah menumpuk, dan sekarang berusaha ke luar dari paru-paru saya. Di 20 meter di depan, sepeda yang sebelumnya melaju lebih cepat sekarang condong ke kiri, sebelum akhirnya jatuh kembali menimpa badan Farrell.

Seperti biasa meringis. “Pa, susah, aku kan dah cepet tuh, tapi pas mau teken remnya susah, mau dibelokin juga susah”, dan saya tersenyum tipis, sambil melihat lutut dan sikunya, apakah ada luka atau tidak. Sementara ibunya berteriak di belakang, “Besok, kalau naik sepeda, pakai celana panjang saja, pelindung lutut dan sikunya di pakai juga, biar gak sakit kalau jatuh”.

Sementara Farrell masih terduduk di lantai lapangan saya pun ringan mencoba memberi tahu apa yang terjadi. “Elel, sepeda itu semakin cepat semakin susah stangnya kita atur, belum lagi kamu susah untuk nekenin rem”.

Keseimbangan yang belum terjaga, kontrol dan pengendalian atas arah yang masih belum baik ditambah kecepatan, kombinasi yang bagus untuk kembali membuat Farrell terjatuh.

“Udah dulu Pa, aku cape, duduk aja dulu di sini yah”

“Ya sudah, istirahat dulu, nanti abis ini sekali lagi, sekalian elel bawa sepedanya pulang yah”

Tak lama, setelah ibunya akhirnya kembali ke rumah, kami pun ikut menyusul ke rumah, Kali ini tangan saya kembali memegang bagian belakang joknya, dan Farrell mengayuh sepeda roda dua kuning birunya.

Rangkaian pelajaran kedua saya dapatkan dari belajar bersepeda ini, proses pengambilan jalan, menentukan arah jalan, untuk menghindar dari ilalang dan rumput, saya sikapi sebagai proses pembelajaran dari kejatuhan, menghindari kesalahan yang sama. Kehidupan juga menuntut saya belajar dari kejatuhan, belajar dari kesalahan, sehingga nantinya diharapkan kesalahan dan kejatuhan yang sama akan terulang lagi.

Pemilihan jalan yang berbelok, saya identikan dengan jalan yang kita tempuh selama hidup, tidak akan selalu lurus, terkadang bahkan sering, belokan harus kita ambil, bahkan tanpa pernah tahu arah kiri atau kanan yang merupakan arah yang benar. Terkadang belokan juga menghadirkan kejutan tersendiri dalam hidup. Kejutan yang nantinya membuat kebahagian atau kesedihan. Bersepeda menghindar ilalang dan rumput membuat Farrell lebih mudah terjatuh, sekaligus membuat dia belajar untuk tahu dan merasakan jalan lempang dan mudah itu tidak selalu ada.

Kembali ke dukungan orang tua, ibu yang menyemangati anaknya, wajah miris yang ditampakkan ketika anaknya terjatuh, uluran tangan bapak yang membantu berdiri anaknya, adalah faktor yang sangat penting didapatkan oleh anak. Perasaan terlindungi Elel ketika mengayuh sepedanya dan saya berlari di belakangnya, terlepas mungkin tangan saya tidak memegang bagian belakang joknya, tetap memberikan perasaan nyaman dan aman untuk dia.

Kecepatan memberikan efek yang baik sekaligus efek buruk. Kehidupan banyak memberikan contoh ini. Bagaimana kecepatan kadang membuat kita banyak kehilangan kendali terhadap apa yang seharusnya kita kendalikan. Bagaimana pula kadang kecepatan ikut memperbesar peluang kita untuk jatuh dan sakit. Percepatan secara konstan akan lebih baik. Percepatan yang terjaga akan mengurangi semua resiko. Saya dan Elel akan belajar banyak tentang endurance atau daya tahan, belajar mengatur ritme percepatan. Bukannya mengambil pilihan, langsung cepat, selanjutnya jatuh. Bersiap, bersabar dan kontrol penuh akan kendali membuat kehidupan ini akan lebih mudah untuk dijalani.

Capai dan lelah akan selalu menjadi teman dalam hidup. Beristirahat dan tidak memaksakan diri adalah langkah bijak yang perlu di ambil. Kebingungan ketika dipersimpangan, haruslah dimaknai sebagai sinyal yang diberikan kepada kita untuk sekedar mengambil nafas, beristirahat untuk selanjutnya kembali beraktifitas.

Satu hal yang paling berkesan buat saya dari pelajaran bersepeda kemarin adalah keseimbangan. Keseimbangan yang merupakan faktor penting dalam bersepeda. Tidak hanya Farrell yang membutuhkan keseimbangan untuk melaju dengan sepedanya, saya pun membutuhkan itu dalam kehidupan. Keseimbangan dalam banyak hal, mengurangi satu keterlebihan dan menaikkan satu lainnya kekurangan. Equilibirium, orang ekonomi menggunakannya. Keseimbangan yang akan membantu saya untuk menjalani kehidupan. Keseimbangan untuk tidak membiarkan salah satu sisi menjadi lebih condong, dan sisi lainnya terabaikan. Keseimbangan yang mengarah ke keharmonisan.

Belajar bersepeda, Elel dan peristiwa kemarin memberikan banyak hal untuk saya. Kebanggaan sebagai orang tua dan kesadaran banyak yang saya lewatkan dalam hidup memberi nikmat yang perlu saya syukuri.

Life is like riding a bicycle. To keep your balance you must keep moving ~ Albert Einstein

COMPLETE PACKAGE OF DONY ! is using WP-Gravatar