Archive

Posts Tagged ‘perempuan’

[memulai] tak punya malu, tak bisa maaf !

Apa yang akan terjadi ketika manusia sudah tidak mempunyai rasa malu? Ketika dengan jelas bahwa di saat kita melakukan kesalahan, ketika terkesan menyadari kesalahan tersebut, tetapi kita dengan bangga mengatakan ke semua orang kita tidak malu melakukan itu.

Malu bagi saya adalah kontrol terendah yang saya punya untuk diri saya, buat saya indikatornya sederhana, hitung-hitungannya gampang sekali. Ketika saya terfikir akan melakukan sesuatu yang menurut nilai atau orang lain adalah salah, maka saya berfikir, akan malukah saya? Jika jawabannya saya malu, maka saya tidak berani melakukannya.

Jika dikemudian hari ketika saya melakukan sesuatu yang aneh dan akan membuat saya malu, maka stop saya tidak akan terfikir untuk melakukannya kembali dan mengulangnya kembali.

Copy Paste

Kenapa saya bicara seperti ini? Tidak lain karena masalah copy paste dari blog ini (udah diedit ). Jujur kemarin saya sempat mulai mendiamkan isu ini, karena saya memang malas, saya capai, dan saya yakin masing-masing baik dari pelaku dan korban sudah sadar dengan pilihan yang dilakukannya masing-masing, dan tiap individu akan belajar dari kejadian hari itu.

Tapi semua buyar, ekspektasi manis saya tentang si pelaku yang menyadari kesalahannya malahan tidak terjadi, dimulai dari komen ini

assalaamu’alaikum.

subhanallah. terima kasih banyak mba silly, tulisan ini sengaja dibuat untukku. *sambil nangis n ngelap ingus*
haduh, aku itu sedang menjalankan tugas negara mendata warga yang buta huruf di sekitar waduk sempor, kebumen, dari hari jumat pagi sampai dengan minggu malam rencananya. dan bukan sedang meratapi nasib karena kesalahan fatal yang aku lakukan beberapa hari yang lalu.

ini baru sempat mampir ke sini, itupun pakai hape.

duh, karena pakai hape jadi harus berkali-kali nulis commentnya.

terus terang mba, aku ga merasa malu, atau berniat berhenti, karena aku punya pemikiran lain utk semua ini. sungguh, dan aku harap anda mau mendengarkan besok, dan aku membuka pintu diskusi bagi semua pihak, tetapi bukan pintu saling menghujat.

sekian dulu mba silly, semoga berkenan. keep writing, ok!!
sukses selalu utk anda

Hah ??? terima kasih mas Samsul anda sudah benar-benar merusak hari saya, ekspektasi saya tentang anda, dan komen saya yang saya sampaikan di blog teman saya - Silly menjadi kesiaan belaka, dan maaf saya menyesal.

Anda sama sekali tidak belajar, anda terlalu sombong bahkan untuk sekedar meminta maaf dengan tulus … catat dengan tulus. Anda men-divert focus dari yang jelas-jelas adalah kesalahan Anda mutlak, menjadi ini seperti permainan, dan ingin merubah pandangan orang menjadi bias dan tidak jelas.

Maaf, tapi itu murahan, posting Anda menjawab hasil copy paste tentang tulisan Silly juga tidak menjawab apa-apa, lagi-lagi Anda murahan sekali, menceritakan sesuatu yang menurut saya jauh sekali dari penting, dan berusaha untuk mengubur topik tentang penjelasan yang Anda sampaikan. Kesibukan dan analogi yang Anda sampaikan, jelas-jelas hal yang tidak berhubungan dan terkesan melebihkan yang buat saya membuat Anda jatuh tak berbekas.

Saran saya, silahkan Anda introspeksi diri lagi, coba untuk belajar meminta maaf dengan tulus dan yang paling penting belajar lah menjadi pria, seorang pria yang anda akui pintar seharusnya mau untuk meminta maaf dan belajar.

Ah sudahlah … saya bingung mau menulis apa lagi. Sedih dan lucu sekarang semua sudah berbaur.

PS : btw kemarin-kemarin saya cek blog anda belum mencantumkan source, hari ini sudah banyak yah :p, tanyakan kenapa ??? Kenapa juga Anda bisa membuat posting banyak tentang pembelaan dan revisi tulisan di blog, tetapi tidak sempat untuk datang langsung dan meminta maaf ????

Dan satu lagi, saya mungkin lebih sibuk dari Anda !

Eh masi ada lagi deng … saya masih penasaran saja, selain alasan kesibukan Anda, kenapa yah komen dari teman-teman saya dan komen Silly ini masih Anda moderasi yah? Kalau begitu saya tampilkan aja yah di sini (Silly dah ngasih izin kok)

Your comment is awaiting moderation.

Hahahahahahahha… adek… adek…

Hmmmm… saya mencoba memahami jalan pikiran anda, tapi semakin saya mencoba,… saya makin sampai pada satu kesimpulan… sesuatu yang tadinya sudah selesai… ketika berusaha dipanjang-panjangin seperti ini, dan ditambah bumbu2 seolah anda yang paling benar… errrr… kok kayak makin gak jelas juntrungannya yahhh?

Saya sudah menganggap ini selesai sebetulnya, sebelum adanya posting ini. Tapi abis baca tulisan ini cuma satu kalimat yang terngiang dikepala saya…

the emptier the can, the louder it rang.

now i know its true!!!!

satu pesan untuk anda… menyebarkan ilmu tidak harus dengan mengubah milik orang lain menjadi seolah itu milik kita… dan seolah itu keluar dari isi kepala kita…

semakin anda menyebutkan kesibukan anda… semakin terlihat betapa anda ingin sekali terlihat hebat… hahahaha… anda lebih sibuk rupanya dari orang yang paling sibuk dinegeri ini… kami2 ini emang kurang kerjaan sih mas… jadi maafkan kami kalo begitu.

Now I cynically laughing for this country, feel so sorry for the youth.

——————————

——————————————-

Ini komen kedua:

Your comment is awaiting moderation.

Satu hal lagi…

Jangan pernah meragukan salam persahabatan yang saya ulurkan. Sekali tangan saya terulur, pantang buat saya untuk menarik lagi. Siapapun itu.

Duh, saya malah senang ada orang yang membagi tulisan itu kok… anda lihat ada berapa banyak yang nge-link tulisan itu kesana???… apakah saya ngamuk?… sama sekali tidak… KARENA MEREKA GENTLE… dan dengan cara yang terhormat.

Rasanya mungkin andalah yang belum bisa memaafkan diri sendiri, sampai menulis penjelasan segini panjang… dan malah, jujur yahhh… ini sejujur jujurnya dari hati saya yang paling dalam… agak terlihat seolah pembenaran dari kebodohan yang kita dah buat sendiri.

Alangkah manis dan gentle jika kita berkata sama yang punya tulisan

“Maaf mbak, sorry kemarin tuh gak sengaja… aku publish lagi deh, tapi murni tulisan mbak, sekalian aku taruh sumbernya disitu… supaya kita jadi berbagi ilmu… gak cuma tuker2an apple”

Selesai bukan???…. bukannya malah dipanjang2in kek gini… mendeliver kesan seolah anda tidak salah ketika menuliskan itu… sangat kontradiktive sekali dengan permohonan maafnya… terkesan tidak dari hati…karena masih disertai embel2 untuk dimengerti.

ahhh, sudahlah… sekali lagi ini sudah saya anggap selesai, silahkan kembalikan kediri anda sendiri. Sebagai orang yang katanya terpelajar dari UGM (btw, saya dari UI mas),… anda pasti tahu kalau yang namanya menuliskan kembali tulisan orang disertai bumbu2 seolah itu karya sendiri, sama saja dengan…. ahhh, anda pasti tahu jawabannya. ;)

“Nila setitik, rusak susu sebelanga”

Lain kali hati-hati ya dekkkk… :)

*salam persahabatan lagi*

Semoga kedua komen saya ini tidak anda moderasi. :)



[memulai] mitos, khayalan dan kenyataan tentang Kartini ?

raden_adjeng_kartiniMasih nyambung dengan postingan saya sebelumnya, juga komen saya di sini dan di sana. Akhirnya saya tergerak untuk mencoba mencari tahu, pandangan lain tentang Raden Ajeng Kartini, sebagai seorang pahlawan, dan juga tentang penetapan hari Kartini.

Tulisan ini saya sadur langsung dari salah satu thread di forum blog detik, hanya saja ada beberapa tulisan yang sengaja saya tidak tampilkan, karena saya ingin kita fokus kepada hal kenapa dan bagaimana bisa seorang Kartini dijadikan simbol emansipasi wanita. Permasalahan adanya motif penjajahan dengan menggunakan kelemahan Islam dan pembahasan berbau agama mungkin akan lebih baik jika kita sampingkan dahulu, agar kita lebih fokus terhadap pertanyaan “Mengapa Harus Kartini ?”

————

Mengapa setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan?

Oleh: Adian Husaini


Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu.
Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:

“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:

“Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: “Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ‘menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ‘penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ‘ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya “Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: “Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya.

————————————

Pfuih … ternyata panjang yah (padahal ada beberapa terutama bagian akhir sudah saya delete). Semoga ini bias menambah wawasan kita, semoga nantinya kita juga bisa lebih baik memaknai emansipasi, persamaan gender, penghargaan terhadap pahlawan kita dan siapa itu Kartini.

Saya coba quote yang ini yah, sangat menarik buat saya

“Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

COMPLETE PACKAGE OF DONY ! is using WP-Gravatar